15 February 2015

Konflik Israel-Gaza



Eskalasi konflik Israel–Palestina dimulai pada tahun 2014 setelah terjadi serangkaian peristiwa. Peristiwa-peristiwa ini mencakup berlanjutnya pemblokiran Jalur Gaza oleh pemerintah Mesir dan Israel, berlanjutnya serangan roket dari Gaza, gagalnya diskusi perdamaian yang disponsori Amerika Serikat, upaya pembentukan pemerintahan koalisi oleh faksi-faksi bersaing di Palestina, penculikan dan pembunuhan tiga remaja Israel, penculikan dan pembunuhan seorang remaja Palestina, penangkapan hampir seluruh pemimpin Hamas di Tepi Barat oleh Israel, dan meningkatnya serangan roket ke Israel setelah perjanjian pencabutan blokade Gaza secara bertahap tidak dipenuhi karena Hamas melanggar kesepakatan gencatan senjata sebelumnya. Pada malam tanggal 6 Juli, serangan udara Israel di Gaza menewaskan tujuh mlitan Hamas, sementara Hamas meningkatkan serangan roketnya ke Israel dan menyatakan bahwa "seluruh warga Israel" merupakan "target yang sah".Pada tanggal 8 Juli 2014, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) melancarkan Operasi Perlindungan Tepi (bahasa Inggris: Operation Protective Edge) di Jalur Gaza.
Tanggal 13 Juli, militer Israel melaporkan bahwa lebih dari 1.300 serangan udara Israel telah dilancarkan ke Gaza, sementara lebih dari 800 roket telah ditembakkan dari Gaza ke Israel. Keesokan harinya, tanggal 14 Juli, Mesir mengumumkan inisiatif gencatan senjata. Pemerintah Israel menerima usulan ini dan menghentikan serangan untuk sementara pada pagi 15 Juli. Akan tetapi, semua faksi Palestina, termasuk Presiden Palestina Abbas, mengumumkan bahwa mereka tidak diberitahu soal inisiatif Mesir ini dan baru mengetahuinya lewat media.  Hamas beserta faksi Palestina lainnya menolak "versi [perjanjian] yang sekarang."Pada tanggal 16 Juli, Hamas dan Jihad Islam menawarkan gencatan senjata selama 10 tahun kepada Israel dengan sepuluh syarat, sebagian besar menyinggung soal diakhirinya pemblokiran Jalur Gaza.
            Konflik ini merupakan operasi militer paling mematikan yang pernah terjadi di Gaza sejak Intifada Kedua, meskipun jumlah korban tewas dan persentase militan yang tewas masih belum jelas. Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, 1.880 warga Palestina tewas[16] and dan 10.000 lainnya cedera. Dari jumlah tersebut, 398 di antaranya adalah anak-anak, 207 wanita, dan 74 manula. Laporan awal untuk United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA) dari Protection Cluster memperkirakan bahwa 1.176 (68%) dari 1.717 korban tewas yang identitasnya sejauh ini sudah dikenali merupakan warga sipil; 573 di antaranya (33% dari total korban tewas) adalah wanita atau anak-anak. Israel bersikukuh bahwa sedikitnya 47% korban tewas di Gaza adalah kombatan. Di sisi lain, 64 tentara IDF, dua warga sipil Israel, dan seorang pekerja Thai tewas.  Pasukan Pertahanan Israel menyatakan bahwa Hamas menggunakan warga sipil sebagai "perisai hidup",dan pada tanggal 17 Juli UNRWA mengutuk keras kelompok yang menyimpan senjata di salah satu sekolahnya.  Pada 22 Juli, Uni Eropa mengutuk semua "seruan kepada penduduk sipil Gaza untuk merelakan dirinya sebagai perisai hidup."[41][42] Hamas membantah kabar bahwa pihaknya menggunakan perisai hidup. 44% teritori Jalur Gaza ditetapkan sebagai zona kosong (no-go zone) oleh militer Israel.
            Per 5 Agustus 2014, laporan OCHA menyatakan bahwa di Jalur Gaza, 520.000 warga Palestina (kurang lebih 30% populasi Gaza) menjadi pengungsi, 273.000 di antaranya mengungsi di 90 sekolah.UNRWA telah mengerahkan segala kemampuannya untuk memfasilitasi para pengungsi, dan kepadatan pengungsi meningkatkan risiko terjadinya wabah. 1,5 juta penduduk Gaza terkena dampak terbatasnya dan/atau berkurangnya persediaan air. 26 fasilitas kesehatan rusak,[46] 968 rumah (64.650 orang) hancur total atau rusak parah, dan rumah milik 33.100 orang rusak namun masih bisa ditinggali. Di seluruh Jalur Gaza, penduduknya hanya mendapat pasokan listrik selama tiga jam per hari. Penghancuran satu-satunya pembangkit listrik di Gaza sangat memengaruhi keadaan kesehatan masyarakat dan mengurangi layanan air dan sanitasi; rumah sakit semakin bergantung pada generator listrik.[butuh rujukan] Lebih dari 485.000 pengungsi dalam negeri membutuhkan bantuan pangan darurat. Menanggapi krisis ini, OCHA meminta dana kemanusiaan darurat sebesar $390.338.824 untuk Palestina; 43% di antaranya sudah terpenuhi pada 3 Agustus.

No comments:

Post a Comment